Langsung ke konten utama

Literasi Media


Needed Skills, Participatory Culture, and Affinity Space



Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita perhatikan seksama sebuah kutipan di bawah ini.

If it were possible to define generally the mission of education, it could be said that its fundamental purpose is to ensure that all students benefit from learning in ways that allows them to participate fully in public, community, creative and economic life.” -New London Group (2000,p. 9)

Kutipan tersebut sangat menarik jika kita telaah lebih dalam. Bagi saya pribadi, kutipan tersebut tepat dalam mendeskripsikan tujuan pendidikan yang ada di dunia ini. Hasil (output) dari pendidikan ialah kemampuan siswa tersebut untuk berkontribusi dalam lingkungan masyarakat pada ruang lingkup baik secara komunitas, kreatif, maupun kehidupan ekonomi secara penuh.

Bagaimana untuk membuktikan kutipan tersebut? Tentu tak sedikit yang bertanya - tanya mengenai implementasi yang tepat dari tujuan pendidikan tersebut. Bukan tanpa alasan, saya sendiri pun sangsi mengenai hasil dari pendidikan sebab pelaksanaan pendidikan terkadang tak sesuai sehingga tidak mampu menghasilkan output yang bermanfaat bagi masyarakat. Sampai saat ini, banyak faktor yang mempengaruhi ketidakberhasilan pendidikan khususnya di Indonesia. Namun, kita tak akan membahasnya itu sekarang. Suatu topik yang menjadi bahasan kita kali ini adalah: apa contoh nyata dari output pendidikan dan bagaimana kualifikasi kemampuannya?

Nah, berikut saya lampirkan beberapa tokoh beserta hasil belajarnya :

1. Ashley Richardson — berhasil menjalankan kota Alphaville saat masih berusia 14 tahun. Tak hanya itu, Richardson juga berhasil menemukan jati dirinya saat debat mengenai bagaimana memastikan pemilihan yang jujur serta masa depan demokrasi di era serba digital. (Jenkins, 2004b)

2. Heather Lawver — berhasil mendirikan publikasi daring untuk membantu anak muda lainnya dalam memperbaiki kemampuan membaca dan menulis. (Jenkins, 2006a)

3. Blake Ross — berhasil mendirikan sebuah web browser miliknya sendiri setelah dipecat oleh Netscape. Saat ini, web browser miliknya alias Firefox telah lebih digunakan 60 kali lebih banyak daripada mantan kantornya. (McHugh, 2005)

4. Josh Meeter — berhasil meyakinkan Stephen Spielberg untuk menonton animasi miliknya dan kemudian berkolaborasi dengan website milik Spielberg. (Bertozzi & Jenkins, 4th)

Keempat tokoh ini membuktikan bahwa perlunya kemampuan yang harus dimiliki sehingga mampu menghasilkan sebuah gerakan atau perubahan baru yang bermanfaat bagi masyarakat. Kemampuan untuk berkampanye dan membela kebebasan penduduk sipil (Richardson), kemampuan untuk mendirikan publikasi untuk baca dan tulis (Lawver), kemampuan untuk mengoperasikan program komputer (Ross) dan kemampuan untuk menjalankan untuk membuat animasi (Meeter) merupakan serangkaian kemampuan yang kita harapkan untuk juga dapat diajari oleh sekolah meskipun pada realitanya tidak ada satupun. Beberapa dari mereka bahkan memutuskan untuk keluar dari sekolah (drop out) untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki.

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pew Internet and American Life pada tahun 2005, lebih dari satu-setengah warga Amerika adalah remaja dan 57% remaja yang menggunakan internet dapat dianggap sebagai konten kreator yang membuat blog atau website, karya orisinil, fotografi, cerita atau video. Penelitian ini menunjukkan 22% dari mereka memiliki website sendiri, 19% melakukan blog dan 19% lainnya menggabungkan keduanya untuk konten mereka.

Penelitian Pew ini hanya menunjukkan angka remaja Amerika yang memberikan partisipasinya. Penelitian ini tidak menganggap formula / cara baru seperti podcast, game modding ataupun machinima. Selain itu, penelitian ini juga tidak menganggap formula baru yang kreatif seperti music sampling dalam komunitas hip hop. Penelitian ini tidak menyertakan latihan dalam formula tersebut yang sebenarnya mampu meningkatkan fokus dan budaya partisipatif (participatory culture). Fokus utama kita bukan pencapaian individu, melainkan konteks budaya yang mendukung luas dalam menciptakan dan mendistribusikan media.

 

Budaya Partisipatif



Berbicara mengenai budaya partisipatif, mari kita sama-sama sepakat untuk mengartikan budaya partisipatif sebagai suatu paham yaitu tidak semua orang harus berkontribusi, tetapi semua individu harus percaya bahwa mereka bebas untuk berkontribusi ketika siap dan apa yang diberikan akan sangat bermanfaat. Budaya partisipatif menitikberatkan pada fokus literasi dari satu individu untuk melibatkan masyarakat.

Keberadaan budaya partisipatif berperan sebagai budaya yang menyerap dan menanggapi maraknya teknologi media baru yang memungkinkan pengguna untuk mengelola konten media dengan cara yang lebih kuat. Penggunaan budaya partisipatif ini dapat dijadikan sebagai istilah yang memotong kegiatan pendidikan, proses yang kreatif, lingkungan komunitas dan masyarakat yang demokratis. Banyak orang yang telah menjadi bagian dari budaya ini melalui proses sebagai berikut.

a) afiliasi — keanggotaan baik formal maupun nonformal dalam komunitas daring yang tersebar dalam berbagai bentuk media seperti Friendster dan Facebook

b) ekspresi — menciptakan bentuk baru yang kreatif seperti digital sampling, fan fiction, dan mash-up

c) collaborative problem solving — bekerja sama dalam tim baik secara formal maupun nonformal untuk menyelesaikan tugas dan mengembangkan pengetahuan baru

d) sirkulasi — membentuk jenis media seperti blogging dan podcast

Dengan demikian, dapat kita katakan budaya partisipatif mengulang peraturan oleh sekolah, mengekspresikan sesuatu, kehidupan masyarakat dan operasi pekerjaan. Semakin banyak pekerjaan yang berfokus pada nilai budaya partisipatif akan memberikan dampak jangka panjang terhadap peahaman siswa mengenai dirinya sendiri dan dunia disekitar mereka.

 

Ruang Afinitas 

Gee (2004) menyebut budaya pembelajaran informal sebagai ruang afinitas dan mempertanyakan mengapa orang belajar dan berpatisipasi lebih dengan aktif. Gee berpendapat ruang afinitas memiliki halangan secara umum seperti perbedaan umur, kelas, ras, jenis kelamin, dan level pendidikan. Gee juga menganggap ruang afinitas tidak memiliki peluang untuk belajar sebab orang dapat berpatisipasi dengan berbagai cara berdasarkan minat dan bakat mereka serta ruang afinitas ini bergantung pada pengajaran peer-to-peer dengan setiap peserta didik untuk memperoleh pengetahuan baru. 

Ruang afinitas ini jelas berbeda dengan sistem pendidikan formal dalam berbagai aspek, misalnya sistem pendidikan formal lebih bersifat konservatif sedangkan pendidikan non formal cenderung bersifat inovatif. Selain itu, struktur dari sistem pendidikan formal bersifat tetap (institutional) sedangkan pendidikan non formal bersifat sementara (provisional). Meskipun demikian, ruang afinitas ini memiliki potensi yang besar dalam menciptakan output yang bermanfaat, misalnya remaja akan mampu berkolaborasi dengan orang lain dari berbagai latar belakang yang berbeda. 

Berdasarkan uraian di atas, kita telah mengetahui kemampuan (skill) yang sudah seharusnya kita kuasai. Kemampuan itu perlu kita kembangkan bersama dengan pengetahuan agar nantinya kita mampu dan siap berpatisipasi sesuai dengan prinsip budaya partisipatif. 


Referensi:

Jenkins, Henry., Ravi P, Katherine C, dkk. (2006). Confronting the Challenges of Participatory Culture: Media Education for the 21st Century. Chicago: The MacArthur Foundation.

Komentar